Senin, 10 November 2008

Jangan pernah ke Gunung Bromo Sendirian



Gunung Bromo merupakan gunung berapi di Jawa Timur yang masih aktif dan merupakan Tempat wisata paling terkenal yang layak anda kunjungi. Mungkin merupakan ide gila jika ke gunung sendirian tp itulah yang terjadi. Saya berangkat dari jakarta jam 18:00 naik kereta menuju Surabaya berhenti di stasiun Pasar Turi jam 07:00, sarapan buat ngisi perut di depan stasiun dari stasiun naik bus kota menuju Terminal Bungur Asih dari bungur asih naik bus jurusan surabaya banyuwangi turun di terminal lama pasuruan, dari pasuruan naik angkutan desa menuju Paserpan kl org pasuruan sebutnya Taksi tp jgn salah ini bukan layaknya taksi seperti yg dikota kota lebih tepatnya omprengan, turun di paserpan sejenak jadi Artis jd rebutan tukang ojek yg mo minta tanda tngan eh salah ding tukang ojek nawarin jasa akhirnya dptlah tukang ojek gaul,.... naik ojek dari paserpan ke penanjakan yg jalanya berkelok2 layaknya Rosi lg berlaga dilintasan balap, semakin atas udara semakin dingin yg sebelumnya di pasuruan panasnya minta ampun tp menjelang keatas penanjakan udara sudah mulai dingin sekali dan akhirnya sampailah di puncak Penanjakan (mount penanjakan : 2750 mtr diatas permukaan laut)di atas sepi krn siang sekitar jm 13:00, perjalanan dari pasuruan sampai penanjakan dibutuhkan wkt sekitar 2 jam, sebenarnya ada penyewaan Jeep tp karena saya sendiri jd lumayan mahal, sewa jeep sekitar Rp. 300.000, kl rombongan mungkin lebih enak naik jeep tp itu dari Wonokitri karena saya ambil rutenya Pasuruan – Warung dowo - Paserpan - Tosari - Wonokitri – Bromo dengan jarak sekitar 71 km, Pemandangan yang paling ditunggu dari Gunung bromo adalah sightview ketika matahari terbit karena memang akan kelihatan jelas sekali dan sangat indah, jadi sayang sekali bila ke bromo ga menyempatan untuk melihat Sunrise makanya aku putuskan nginep di atas tp persoalanya di atas ga ada hotel maka aku cari petugas pengawas gunung bromo begitu ketemu aku minta ijin untuk ikutan nginep di kantornya dan untung diijinkan nginep, saya nginep dikantor pengawasan gunung bromo yg terletak di bawah penanjakan di tengah hutan jalan menuju gedung hanya jalan setapak tanah pula, kami hanya berdua digedung itu bapak pengawas dan saya, kami bangun jam ½ 4 pagi setelah bikin indomie dan susu akhirnya saya diantar ke penanjakan sampai puncak sekitar jam 4 pagi, ternyata sudah dipenuhi org cm rata2 wisatawan mancanegara, tp ya ampun dinginya ga ketulungan padahal aku pk jaket dobel msh pk sarung tangan, untuk org2 yg biasa tinggal di kota khusunya jakarta yg panasnya ga ketulungan pasti kedinginan tp jgn kawatir karena diatas ada penyewaan jaket tebal. Tp begitu pemandangan mulai nampak gunung bromo and the geng yang sangat indah itu rasa dingin jd ga terasa karena terhipnotis keindahan gunung bromo di pagi hari. Setelah capek jeprat jepret sampai jm ½ 7 akhirnya istirahat di kios sambil makan Indomie ma bikin susu sambil nungguin tukang ojek yg dah tak kontrak 2 hari hehehe...... Selain sunrise msh ada pemandangan indah yaitu Sea of the sand yg luasnya 5.250 hektar ato Segoro wedi kl org sana bilang, padang pasir dan padang rumput yg sangat luas tepat di bawah Gunung Bromo, biasa org2 ke situ pk jeep dan disambung naik kuda ato jalan kaki, tp karena saya udah ada teken kontrak sama tukang ojeku yg gaul akhirnya di anter juga sampai di bawah tangga yg mo naik ke puncak bromonya, pengalaman paling menegangkan naik ojek di lautan pasir sampai zik zak motornya karena banya terendam pasir udah gt ngikutin tracknya kuda lg, setelah nglewatin laut pasir kita bisa melihat kawah gunung bromo dengan menaiki tangga sebanyak 250 anak tangga menuju puncaknya, tp kl pingin lebih gila lagi terusin ke puncak Mahameru yaitu puncak Gunung Semeru di mana tempat meninggalnya tokoh yg sempat dibikin filmnya ”Gie”, tp jgn sendirian mesti rombongan kl itu.,....
Ada beberapa rute menuju Bromo :
* Pasuruan – Warung dowo – Paserpan – Tosari – Wonokitri – Gunung Bromo jarak 71 km
* Malang – Tumpang-Gubuk klakah-Jemplang-Gunung Bromo 53 KM
* Malang –Purwodadi-Nongkojajar-Tosari-Wonokitri-Penanjakan 83 km
sampai ketemu di edisi berikutnya.......

Sabtu, 08 November 2008

DAFTAR CHECKLIST PERLENGKAPAN KEGIATAN MENDAKI GUNUNG


A. Perlengkapan Utama

  1. Sepatu dan kaus kaki.
  2. Ransel (frame pack, ukuran besar, 30 - 60 liter).
  3. One day pack (ransel/tas kecil untuk mobilitas jarak pendek).
  4. Senter dan batere dan bolam ekstra.
  5. Ponco atau raincoat.
  6. Matras.
  7. Sleeping bag (atau sarung kalau tidak punya).
  8. Topi rimba.
  9. Tempat minum atau veples.
  10. Korek api dalam wadah waterproof (tempat film) dan lilin.
  11. Obat-obatan pribadi (P3K set).
  12. Pisau saku.
  13. Kompor untuk masak (kompor parafin dan parafin atau kompor tahu dan minyak tanah atau kompor gas dan tabung elpiji).
  14. Nesting dan sendok dan cangkir.
  15. Peluit (bagus: peluit SOS atau whistle).
  16. Survival Kit).
  17. Peta dan kompas.
  18. Altimeter (kalau punya).
  19. Tenda (bisa diganti ponco atau lembaran kain parasut untuk dijadikan bivak).
  20. Parang tebas dan batu asah.
  21. Tissue gulung (untuk membersihkan perangkat makan-minum bila tidak ada air, dan alat bersih diri habis buang air besar).
  22. Sandal jepit.
  23. Gaiter (untuk pendakian di daerah yang banyak pasirnya).
  24. Kaus tangan.
  25. Personal higiene: sikat gigi, odol, sabun mandi, shampo (untuk membersihkan diri saat di desa terakhir, atau saat dalam perjalanan bertemu dengan sungai yang bisa untuk bersih-bersih diri).
  26. Tali plastik (sekitar 10 meter, untuk membuat bivak atau tenda) dan tali rafia.

B. Pakaian

  1. Pakaian dalam.
  2. Celana pendek.
  3. Celana panjang.
  4. Kaos/t-shirt.
  5. Sweater atau parka.
  6. Jaket (tahan air).
  7. Sarung.
  8. Kerpus atau balaclava.
  9. Scarf atau slayer.
  10. Hem lengan panjang.
  11. Pakaian ganti: kaus kaki, kaos, sweater, pakaian dalam.
  12. Kaus tangan.
  13. Jas hujan (raincoat atau ponco).

C. First Aid Kit

  1. Betadine.
  2. Kapas.
  3. Kain kassa.
  4. Perban.
  5. Rivanol.
  6. Alkohol 70%.
  7. Obat alergi: CTM.
  8. Obat maag.
  9. Tensoplast (agak banyak, mis: 4 pack, terutama untuk preventif ‘blister’ yang dikenakan sebelum perjalanan dilakukan).
  10. Parasetamol.
  11. Antalgin.
  12. Obat sakit perut (diare): Norit, Diatab
  13. Obat keracunan: Norit.
  14. Sunburn preventif: Nivea atau Sunblock
  15. Oralit (agak banyak, untuk mengganti cairan tubuh yang hilang; kalau tidak ada bisa diganti larutan gula-garam).

D. Survival Kit

  1. Kaca cermin.
  2. Peniti.
  3. Jarum jahit.
  4. Benang nilon.
  5. Mata pancing dan senar pancing.
  6. Silet atau cutter.
  7. Korek api dalam wadah water proof dan lilin.

E. Lain-Lain

  1. KTP atau Kartu Pelajar
  2. Uang
  3. Buku catatan perjalanan (jurnal, diary) dan bolpen.
  4. Kamera dan film (sekarang: kamera digital dan batere cadangan).
  5. Radio kecil dan batere cadangan.
  6. Alat komunikasi (HT, sekarang: HP).
  7. Harmonika.
  8. Buku puisi Chairil Anwar.
  9. Buku puisi Khalil Gibran.

Rabu, 22 Oktober 2008

MUQADDIMAH

Masyarakat kaum Muslimīn dewasa ini umumnya menghadapi kesenian sebagai suatu masalah hingga timbul berbagai pertanyaan, bagaimana hukum tentang bidang yang satu ini, boleh, makrūh atau harām? Di samping itu dalam praktek kehidupan sehari-hari, sadar atau tidak, mereka juga telah terlibat dengan masalah seni. Bahkan sekarang ini bidang tersebut telah menjadi bagian dari gaya hidup mereka dan bukan hanya bagi yang berdomisilli (bertempat kediaman tetap; bertempat kediaman resmi) di kota. Umat kita yang berada di desa dan di kampung pun telah terasuki.(penetrate, possess).

Media elektronika seperti radio, radiokaset, televisi, dan video telah menyerbu pedesaan. Media ini telah lama mempengaruhi kehidupan anak-anak mudanya. Kehidupan di kota bahkan lebih buruk lagi. Tempat-tempat hiburan (ma‘shiat) seperti "night club", bioskop dan panggung pertunjukkan jumlahnya sangat banyak dan telah mewarnai kehidupan pemuda-pemudanya.

Sering kita melihat anak-anak muda berkumpul di rumah teman-temannya. Mereka mencari kesenangan dengan bernyanyi, menari bersama sambil berjoget tanpa mempedulikan lagi hukum halāl-harām. Banyak di antara mereka yang berpikir bahwa hidup itu hanya untuk bersenang-senang, jatuh cinta, pacaran, dan lain-lain.

Semua keadaan yang kami tuturkan di atas terjadi dan berawal dari kejatuhan seni budaya dan peradaban Islam. Kita dapat menyaksikan sendiri, seni dan budaya kita telah digantikan dan tergeser (shifted, moved, removed) oleh seni budaya dan peradaban produk Barat yang nota-benenya (perhatiannya) menekankan kehidupan yang bebas tanpa ikatan agama apapun.

Cabang seni yang paling dipermasalahkan adalah nyanyian, musik dan tarian. Ketiga bidang itu telah menjadi bagian yang penting dalam kehidupan modern sekarang ini karena semua cabang seni ini dirasakan langsung telah merusak akhlaq dan nilai-nilai keislāman.

Adanya dampak negatif dari bidang kesenian menyebabkan banyak orang bertanya-tanya, khususnya dari kalangan pemuda yang masih memiliki ghirah (cemburu terhadap musuh agama) Islam. Mereka bertanya: bagaimana pandangan Islam terhadap seni budaya? Bolehkah kita bermain gitar, piano, organ, drum band, seruling, bermain musik blues, klasik, keroncong (popular Indineisan music originating from Portuguese songs), musik lembut, musik rock, dan lain-lain? Bagaimana pula dengan lirik lagu bernada asmara, porno, perjuangan, qashīdah, kritik sosial, dan sejenisnya? Di samping itu, bagaimana pandangan hukum Islam dalam seni tari. Apakah tarian Barat seperti Twist, Togo, Soul, Disko dan sebagainya? Kalau tidak boleh dengan tarian Barat, bagaimana dengan tari tradisional? Juga, bolehkan wanita atau lelaki menari di kalangan mereka masing-masing?

Dalam buku ini akan dipaparkan pembahasan semua permasalahan para fuqahā’, khususnya dari kalangan empat madzhab. Harapan penulis semoga karya ini dapat menutupi kekurangan buku-buku bacaan tentang hukum di bidang seni. Dengan segala kerendahan hati, penulis senantiasa menghargai setiap kritik dan saran dari semua pihak demi menyempurnakan risālah kecil ini.

Musik dan Ritual Ibadah

Musik dan Ritual Ibadah
Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi' bin Sulaimi
headline, Manhaji, 18 - Mei - 2008, 18:50:59


Musik adalah salah satu warna kehidupan di masa sekarang yang demikian kontras dengan masa sahabat dan ulama-ulama setelahnya. Jika dahulu generasi salaf demikian keras membenci musik berikut alat pendukungnya. Kini, musik justru dihalalkan, menjadi sumber nafkah, bahkan dijadikan sarana ibadah dan dakwah.

Fenomena Musik di Tengah Kehidupan Umat
Musik, di mata kebanyakan orang “hanyalah” bagian dari seni dan budaya. Namun demikian berbagai alat musik dan perangkat pendukungnya telah sedemikian menjamur. Beragam tempat keramaian hampir tak pernah hampa dari musik. Televisi dan radio pun menjadi alat pemasar yang sangat efektif. Alhasil, musik semakin lekat dengan kehidupan umat. Seakan ia suatu kebutuhan primer yang mengiringi segala aktivitas kehidupan mereka. Hampir tak ada satu acara, baik besar maupun kecil kecuali diramaikannya. Festival, even olahraga, resepsi pernikahan, dan beragam acara lainnya di tengah umat, tak ada yang nihil darinya. Mulai dari dangdut, campursari, gending jawa, keroncong, pop, jazz, blues, rock, reggae, hip hop, R&B, rap, klasik, techno, house, country, black metal, hingga yang beraroma “padang pasir” seperti nasyid dan kasidah, saling berebut “pangsa pasar” yang tak lain adalah kaum muslimin.
Di banyak tempat, termasuk fasilitas-fasilitas umum, musik malah menjadi konsumsi “wajib”. Tempat ‘cangkruknya’ kawula muda, sarana transportasi darat, laut maupun udara, dan fasilitas umum lainnya pun tak sepi darinya. Tak heran, bila kemudian istilah full musik mempunyai nilai jual tersendiri. Bahkan tempat-tempat yang senyatanya diidentikkan dengan ibadah dan ketaatan pun dirambahnya. Masjid, pondok pesantren, madrasah, dan yang semisalnya acap kali ‘ramai’ dengan lantunan ‘musik Islami’, dalam anggapan mereka. Demikianlah fenomena musik di tengah kehidupan umat. Nada dan iramanya benar-benar telah “membelenggu” kehidupan mereka.

Musik Dalam Timbangan Islam
Dalam timbangan Islam, musik merupakan salah satu fitnah yang berbasiskan syahwat. Jatidirinya amat buruk. Peranannya pun amat besar dalam melalaikan umat dari ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tak heran, bila Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Maha Rahman mengingatkan para hamba-Nya dari fitnah musik ini, sebagaimana dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Luqman: 6)
Menurut sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ‘Ikrimah, Mujahid, dan Al-Hasan Al-Bashri rahimahumullah, ayat ini turun berkaitan dengan musik dan nyanyian. (Lihat Tahrim Alatith Tharbi, karya Asy-Syaikh Al-Albani hal.142-144)
Dalam Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu juga menegaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan keadaan orang-orang hina yang enggan mengambil manfaat dari (mendengarkan) Al- Qur`an, kemudian berupaya untuk mendengarkan musik dan nyanyian dengan segala irama dan perantinya.
Mungkin di antara kita ada yang mempertanyakan: “Bukankah ayat ini berkaitan dengan orang-orang kafir yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna, nyanyian dan musik untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa ilmu dan menjadikan jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai olok-olokan?”
Menanggapi hal ini Al-Imam Ibnu ‘Athiyyah rahimahullahu mengatakan: “Ayat ini berkaitan pula dengan umat Muhammad. Bentuk penyesatannya dari jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak dengan kekufuran dan tidak pula dengan menjadikan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai olok-olokan. Akan tetapi dalam bentuk memalingkan manusia dari ibadah, menghabiskan waktu untuk sesuatu yang dibenci (Allah Subhanahu wa Ta'ala), serta menyeret mereka ke dalam barisan pelaku maksiat dan orang-orang yang berjiwa rendah…” (Al-Muharrar Al-Wajiz 13/9, dinukil dari Tahrim Alatith Tharbi, hal. 154)
Demikian halnya dengan Al-Wahidi, sebagaimana dalam pernyataannya: “Ayat ini meliputi siapa saja yang lebih memilih perkataan yang tidak berguna, nyanyian dan musik daripada Al-Qur`an. Karena kata isytira` seringkali bermakna memilih dan mengganti.” (Al-Wasith 3/441, dinukil dari Tahrim Alatith Tharbi hal. 144-145)
Para pembaca, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah memperingatkan umatnya dari fitnah musik. Di antara sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam itu adalah1:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ، يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ، وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ، يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَـهُمْ، يَأْتِيهِمْ -يَعْنِي الْفَقِيرَ– لِـحَاجَةٍ فَيَقُولُوا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَداً، فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ، وَيَضَعُ الْعَلَمَ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Benar-benar akan ada sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan musik/alat musik. Mereka tinggal di puncak gunung, setiap sore seorang penggembala membawa (memasukkan) hewan ternak mereka ke kandangnya. Ketika datang kepada mereka seorang fakir untuk suatu kebutuhannya, berkatalah mereka kepada si fakir: ‘Besok sajalah kamu kemari!’ Maka di malam harinya Allah Subhanahu wa Ta'ala adzab mereka dengan ditumpahkannya gunung tersebut kepada mereka atau digoncang dengan sekuat-kuatnya, sementara yang selamat dari mereka Allah ubah menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, no. 5590 dari sahabat Abu Amir (Abu Malik) Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu)2
Bagaimanakah sikap para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para ulama yang mengikuti jejak mereka tentang musik? Apakah mereka pernah menjadikannya sebagai sarana beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala?
Dalam Majmu’ Fatawa (11/297-298), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menegaskan bahwa para sahabat, para tabi’in, dan seluruh pemuka agama ini belum pernah menjadikan musik dengan segala jenisnya sebagai sarana beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan tidak pula menganggapnya sebagai taqarrub (pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala) dan ketaatan, bahkan mereka menganggapnya sebagai bid’ah yang tercela.
Sementara dalam Minhajus Sunnah 3/439, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menandaskan bahwa imam yang empat; Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal rahimahumullah telah sepakat tentang keharaman musik berikut alatnya.
Lebih spesifik lagi, Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullahu dalam kitabnya Talbis Iblis (hal. 230-231) menyitir sikap para pemuka murid-murid Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dan generasi terdahulu madzhab Syafi’i, bahwa mereka sepakat mengingkari musik dan mendengarkannya. Adapun di kalangan muta’akhkhirin, para pemuka mereka mengingkarinya, di antaranya Al-Imam Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari t. Sedangkan yang membolehkannya, hanyalah orang-orang yang sedikit ilmu lagi dikuasai oleh hawa nafsu.
Para pembaca yang mulia, demikianlah beberapa dalil dan keterangan para ulama seputar haramnya musik dan mendengarkannya. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran.3

Ibadah dan Rambu-Rambunya
Ibadah merupakan ritual penting dalam kehidupan seorang hamba. Dengan ibadah, seorang hamba dapat bertaqarrub (mendekatkan dirinya) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dengan ibadah pula, seorang hamba menjadi insan bermakna dalam kehidupan ini. Kehidupannya akan senantiasa diberkahi, segala impitan dan kegalauan hidupnya pun akan teratasi dengan berbagai solusi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لاَ يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Yaitu mereka tetap beribadah hanya kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan-Ku dengan sesuatupun. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)
Ibadah pun mempunyai rambu-rambu. Jika rambu-rambu itu dikesampingkan, maka ibadah tersebut tidaklah bernilai sebagai amalan shalih dan tidak pula diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Sebuah ibadah tidak bisa untuk bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, bahkan tidak diterima oleh-Nya kecuali dengan dua syarat:
1. Ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, dengan mempersembahkan ibadah tersebut semata-mata mengharap wajah Allah dan kebahagiaan di negeri akhirat, tanpa ada niatan mengharap pujian dan sanjungan manusia.
2. Mengikuti (tuntunan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beribadah, baik dalam hal perkataan maupun perbuatan.” (Al-Manhaj Limuridil ‘Umrah wal Hajj)
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya di antara suatu ketentuan di kalangan ulama’ bahwasanya tidak diperbolehkan bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan sesuatu yang tidak disyariatkan (pada jenis ibadah tersebut), walaupun sesuatu itu asalnya masyru’ (boleh); seperti adzan untuk dua shalat ied…4” Kemudian beliau mengatakan: “Bila hal ini telah diketahui, maka bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan sesuatu yang haram lebih tidak boleh lagi, bahkan hukumnya sangat diharamkan.” (Tahrim Alatith Tharbi hal. 162)

Bolehkah Melaksanakan Ibadah Dengan Iringan Musik dan Nasyid/kasidah?
Para pembaca yang mulia, menyoal boleh dan tidaknya ritual ibadah yang diiringi alunan musik, cobalah anda perhatikan dengan cermat rambu-rambu ibadah di atas. Kemudian, lakukan tinjauan ulang tentang hukum musik yang telah lalu. Apa kesimpulannya? Anda dan juga saya akan menyimpulkan bahwa ritual ibadah dengan iringan musik tidaklah diperbolehkan dalam agama Islam, bahkan diharamkan. Mengapa demikian? Tentu karena beberapa hal:
1. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memperingatkan para hamba-Nya akan bahaya musik sebagaimana dalam Surat Luqman ayat 6. Tentunya, sesuatu yang diperingatkan Allah Subhanahu wa Ta'ala tidaklah bisa menjadi sarana untuk beribadah dan ber-taqarrub kepada-Nya.
2. Rasulullah Subhanahu wa Ta'ala tidak pernah melakukan ritual ibadah dengan iringan musik. Bahkan dalam banyak sabdanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan umatnya dari fitnah musik tersebut. Demikian pula para sahabat dan para ulama yang mengikuti jejak mereka (termasuk imam yang empat) tidak pernah melakukan ritual ibadah dengan iringan musik, tidak pernah menjadikannya sebagai sarana beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta tidak pula menganggapnya sebagai taqarrub (pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala) dan ketaatan. Bahkan mereka menganggapnya sebagai bid’ah yang tercela, sebagaimana yang ditegaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dalam Majmu’ Fatawa (11/297-298).
Kalaulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta para ulama yang mengikuti jejak mereka (termasuk imam yang empat) tidak pernah melakukan ritual ibadah dengan iringan musik bahkan memperingatkan umat darinya, maka dari sisi manakah diperbolehkan?!
3. Sebagaimana telah lalu pada pembahasan Musik Dalam Timbangan Islam, bahwa hukum musik adalah haram, berdasarkan dalil-dalil Al-Qur`an dan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam serta keterangan para ulama terkemuka. Di sisi lain, para ulama telah menentukan bahwa tidak diperbolehkan ber-taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan sesuatu yang tidak disyariatkan, walaupun sesuatu itu asalnya masyru’ (boleh). Tentunya, akan lebih tidak boleh lagi bahkan sangat diharamkan ber-taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan sesuatu yang haram (seperti halnya musik), sebagaimana keterangan Asy-Syaikh Al-Albani di atas.
4. Jika ditarik ke belakang, mata rantai sejarah menunjukkan bahwa pelaksanaan ritual ibadah dengan iringan musik dan semacamnya ini merupakan kebiasaan orang-orang kafir, termasuk di dalamnya kaum Nasrani. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَهْوًا وَلَعِبًا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا
“(Yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka.” (Al-A’raf: 51)
Demikian pula dengan kaum musyrikin Quraisy. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاءً وَتَصْدِيَةً
“Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan.” (Al-Anfal: 35)
Sementara Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya telah melarang umat Islam dari sikap menyerupai orang-orang kafir dan musyrik (tasyabbuh) dalam segala hal. Atas dasar itulah, maka orang-orang yang beribadah dengan iringan musik dengan berbagai jenisnya itu hakikatnya telah mengikuti cara musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya dalam beribadah. (Lihat Tahrim Alatith Tharbi hal. 163)
Mungkin akan ada yang berkomentar: “Itu kan kalau pelaksanaannya dengan main-main dan senda gurau. Bagaimanakah jika pelaksanaannya dengan penuh kekhusyukan, bahkan yang didendangkan pun sesuatu yang mengajak kepada zuhud dan melembutkan qalbu, seperti nasyid dan kasidah?!”
Wahai saudaraku, sesungguhnya nasyid dan kasidah dengan iringan musiknya yang syahdu telah ada di zaman Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal. Di masa itu, penduduk Iraq lebih mengenalnya dengan sebutan taghbir. Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i t, taghbir merupakan warisan kaum zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, pen.) dalam rangka memalingkan umat Islam dari Al-Qur`an.
Sedangkan Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu saat ditanya tentangnya, mengatakan: “Ia adalah muhdats (sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada contoh sebelumnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pen).” Kemudian saat ditanya: “Apakah boleh duduk-duduk bersama mereka?” Beliau menjawab: “Tidak boleh duduk-duduk bersama mereka.” Beliau juga mengatakan: “Jika engkau bertemu dengan salah seorang dari mereka di satu jalan, maka lewatlah jalan selainnya.” (Lihat Majmu’ Fatawa 11/298, Tahrim Alatith Tharbi hal. 163 dan Mukhalafat Ash-Shufiyyah Lil Imam Asy-Syafi’i hal. 176-177)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t, setelah menyebutkan beberapa jenis musik termasuk di dalamnya taghbir, mengatakan: “Barangsiapa memainkan musik dengan segala jenisnya, dengan keyakinan menjalankan agama dan sebagai sarana ber-taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka tidak diragukan lagi kesesatan dan kebodohannya.” (Majmu’ Fatawa 11/576)
Seperti itu pula fatwa ulama lainnya. Di antaranya Al-Imam Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari, Al-Imam Ath-Thurthusyi, Al-Imam Al-Qurthubi, Al-Hafizh Ibnush Shalah, Al-Imam Asy-Syathibi, Al-Imam Ibnul Qayyim, Al-Imam Al-‘Iz bin Abdus Salam, dan Al-Imam Mahmud Al-Alusi. (Lihatlah rincian fatwa mereka dalam kitab Tahrim Alatith Tharbi hal. 168-176)
Mungkin di antara pembaca ada yang menggugat, seraya berkata: “Mengapa taghbir/nasyid/kasidah ini disikapi demikian keras oleh para ulama tersebut? Bukankah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saat tiba di kota Madinah (sebagian menyebutkan saat berhijrah dan sebagian yang lain menyebutkan saat kepulangan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dari perang Tabuk), disambut oleh para sahabatnya dengan rebana dan nasyid Thala’al badru ‘alaina * min tsaniyyatil wada’… ?!”
Mengenai hal ini, anda bisa merujuk kitab Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah karya Asy-Syaikh Al-Albani (seorang pakar hadits abad ini) jilid 2, hal. 63, hadits no. 598. Di sana disebutkan bahwa riwayat tersebut dha’if (lemah) dan tidak bisa dijadikan dalil. Karena telah jatuh pada isnadnya tiga orang perawi atau lebih secara berurutan (mu’dhal). Dengan sebab itu pula Al-Hafizh Al-Iraqi melemahkannya dalam takhrijnya terhadap kitab Ihya` ‘Ulumiddin (2/244). Sebagaimana pula beliau mengingkari Al-Ghazali tentang penyebutannya lafadz (بِالدُّفِّ وَالْأَلْحَانِ): Yakni, dengan rebana dan irama/nada. Mengingat, tambahan lafadz tersebut tidak ada asalnya sama sekali dalam riwayat tersebut.
Bisa jadi ada yang berkata: “Meskipun kami mendengarkan musik, nasyid dan kasidah, tapi itu semua tidak memalingkan kami dari Al-Qur`an!”
Saudaraku, perkataan semacam ini sesungguhnya hanya teoritas belaka. Karena Al-Qur`an dan musik (dengan berbagai jenisnya) selamanya tidak akan bisa bersatu pada qalbu seseorang, bahkan keduanya saling bertentangan. Al-Qur`an melarang memperturutkan hawa nafsu dan mengikuti langkah-langkah setan. Sebagaimana pula memerintahkan kepada ‘iffah (menjaga kehormatan), menjauhkan diri dari syahwat dan sebab-sebab kesesatan. Adapun musik dan yang semisalnya memerintahkan kepada lawan dari semua itu. Demikianlah yang dinyatakan Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam Ighatsatul Lahafan (1/248) dan dinukil oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Tahrim Alatith Tharbi (hal. 149).
Realita di lapangan pun menunjukkan demikian. Sebagaimana kesimpulan dari Asy-Syaikh Al-Albani t: “Engkau tidaklah mendapati seseorang yang gemar musik (dengan segala jenisnya, pen) dan gemar mendengarkannya, melainkan ada padanya suatu penyimpangan baik dalam hal ilmu maupun amalan. Ada pula padanya kekurangsukaan untuk mendengarkan Al-Qur`an dan kecenderungan untuk mendengarkan musik. Manakala terdengar olehnya bacaan Al-Qur`an dan juga suara musik, maka kecondongan jiwanya kepada musik akan lebih kuat daripada kepada Al-Qur`an….” (Tahrim Alatith Tharbi hal. 152)
Maka dari itu, tidaklah mengherankan bila sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu mengatakan: “Musik/nyayian dapat menumbuh-suburkan sifat munafik pada qalbu.” Demikian pula Al-Imam Asy-Sya’bi rahimahullahu mengatakan: “Sesungguhnya musik/nyayian dapat menumbuhsuburkan sifat munafik pada qalbu, sebagaimana air dapat menumbuhsuburkan tanaman. Dan sesungguhnya dzikir dapat menumbuhsuburkan iman pada qalbu, sebagaimana air dapat menumbuhsuburkan tanaman.” (Lihat Tahrim Alatith Tharbi hal. 145 dan 148)
Akhir kata, sebagai bahan renungan bagi kita semua, simaklah mutiara kata dari Al-Imam Al-Alusi rahimahullahu berikut ini: “Bila anda telah candu dengannya (musik dengan segala jenisnya, pen.), maka hati-hatilah kemudian hati-hatilah dari keyakinan bahwa memainkannya atau mendengarkannya merupakan suatu taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana keyakinan orang-orang rendahan dari kalangan Shufi. Kalaulah permasalahannya seperti apa yang mereka yakini, niscaya para nabi telah melakukannya dan memerintahkannya kepada para pengikutnya. Realita membuktikan, tak ada satu riwayat pun yang ternukil dari mereka tentang hal ini. Tak ada satu kitab suci pun yang mengisyaratkannya. Sementara Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyatakan:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan agama bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 3)
Kalaulah sekiranya memainkan musik dan mendengarkannya bagian dari agama, serta sebagai sarana ber-taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala Rabbul Alamiin, niscaya telah disampaikan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan telah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya kepada umat. Sedangkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengatakan:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا تَرَكْتُ شَيْئًا يُقَرِّبُكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُكُمْ عَنِ النَّارِ إِلاَّ أَمَرْتُكُمْ بِهِ، وَمَا تَرَكْتُ شَيْئًا يُقَرِّبُكُمْ مِنَ النَّارِ وَيُبَاعِدُكُمْ عَنِ الْجَنَّةِ إِلاَّ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
“Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah ada sesuatu yang mendekatkan kalian kepada Al-Jannah dan menjauhkan kalian dari An-Nar melainkan telah kuperintahkan kalian untuk mengerjakannya, dan tidaklah ada sesuatu yang mendekatkan kalian kepada An-Nar dan menjauhkan kalian dari Al-Jannah melainkan telah kularang kalian untuk mengerjakannya.”5 (Ruhul Ma’ani 11/79, dinukil dari Tahrim Alatith Tharbi hal. 1175-176)
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Mengingat ruang rubrik yang terbatas dan akan disebutkan secara terperinci pada rubrik Kajian Utama, maka kami cukupkan dengan satu hadits saja.
2 Hadits ini dilemahkan (bahkan divonis palsu) oleh Ibnu Hazm, karena adanya keterputusan (dalam isnadnya) antara Al-Bukhari dengan Hisyam bin ‘Ammar, juga adanya keraguan tentang nama sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut, sebagaimana dalam Al-Muhalla (9/59). Namun pendapat Ibnu Hazm ini merupakan pendapat yang lemah serta menyelisihi keputusan para pakar hadits.
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Berbagai macam alat musik, telah sah (pelarangannya) dari hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, dengan shighah ta’liq majzum (cara periwayatan dengan menggantungkan/tidak menyebutkan nama syaikh yang di atasnya, dan ketika menyebutkan nama syaikh yang di atas syaikh pertama, menggunakan kata penyampai yang tegas, seperti قَالَ : telah berkata, pen.), yang terpenuhi padanya syarat Shahih Al-Bukhari.” (Al-Istiqamah 1/294, dinukil dari Tahrim Alatith Tharbi karya Asy-Syaikh Al-Albani hal. 39)
Semakin kuat lagi manakala Al-Imam Ibnul Qayyim menegaskan: “Bahwasanya Al-Bukhari telah bertemu dengan Hisyam bin ‘Ammar dan pernah mendengar darinya. Maka bila Al-Bukhari mengatakan: ‘Telah berkata Hisyam’, kedudukannya sama dengan perkataannya: ‘Dari Hisyam’.” (Lihat Tahrim Alatith Tharbi, hal. 82-83)
- Al-Hafizh Ibnush Shalah berkata: “Hadits ini shahih, dikenal bersambung (isnadnya), terpenuhi (padanya) syarat Shahih Al-Bukhari.” (Muqaddimah Ibnish Shalah hal. 32)
- Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Kalaulah misalnya hadits ini dianggap ada keterputusan pada isnadnya, maka ia merupakan satu kelemahan yang hanya berkaitan dengan hadits ini saja dan tidak bisa digeneralisir terhadap hadits-hadits yang semakna dengannya. Padahal sungguh (hadits ini) telah bersambung melalui beberapa jalan dari para hafizh tsiqah yang mendengarnya secara langsung dari Hisyam bin ‘Ammar.” Kemudian Asy-Syaikh Al-Albani menyebutkan empat jalan tersebut, yaitu: Al-Husain bin Abdullah Al-Qaththan, Musa bin Sahl Al-Jauni Al-Bashri yang diiringi oleh Da’laj, Abdush Shamad Ad-Dimasyqi, dan Al- Hasan bin Sufyan Al-Khurasani An-Naisaburi. Asy-Syaikh Al-Albani juga mengatakan bahwa di sana masih ada empat orang perawi lainnya yang mendengarnya secara langsung dari Hisyam bin ‘Ammar, lalu beliau mengisyaratkan untuk merujuk kitab Taghliqut Ta’liq karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, 5/17-19, dan juga kitab Siyar A’lamin Nubala` karya Al-Imam Adz-Dzahabi (21/157 dan 23/7). (Lihat Tahrim Alatith Tharbi, hal. 40-41)
- Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Adanya keraguan tentang nama sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut, tidaklah berpengaruh pada keshahihannya (karena semua sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu adil dan tepercaya, pen.). Ibnu Hazm menjadikannya sebagai poin kelemahan bagi hadits ini, namun pendapat ini tertolak.” (Fathul Bari 10/56)
3 Untuk mengetahui lebih rinci syubhat-syubhat seputar musik berikut bantahan, silakan merujuk kitab Ighatsatul Lahafan karya Al-Imam Ibnul Qayyim, kitab Tahrim Alatith Tharbi karya Asy-Syaikh Al-Albani dan kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah lainnya.
4 Adzan, pada asalnya merupakan sesuatu yang disyariatkan untuk mengumumkan masuknya waktu shalat fardhu. Namun ia tidak disyariatkan pada dua shalat ied, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan juga para sahabatnya tidak melakukannya.
5 Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 1803.

Music Adalah

Musik adalah jemari halus yang mengetuk pintu kalbu untuk membangunkan kehangatan dari tidurnya yang lelap. Ketukan jemari itu membuat hamparan kenangan hadir kembali, setelah hilang di telan pekatnya malam. Ketukan itu membuat kenangan masa silam terbuka kembali, setelah di selubungi berbagai peristiwa yang selalu datang silih berganti.

Alunan nada nada musik adalah senandung lembut yang kerap hadir di lembah lembah imajinasi. Jika nada nada itu di lantunkan dalam melodi kesedihan, maka ia menghadirkan kenangan silam di saat gundah dan putus asa. Tapi jika di lantunkan pada saat hati senang, maka musik menghadirkan kenangan silam di saat damai dan bahagia.

Alunan nada nada musik adalah kumpulan suara kesedihan yang membuat segala kegelisahan memenuhi tulang rusuk, lalu menghadirkan seribu duka. Tapi ia juga bisa berupa susunan kata kata ceria yang segera menguasai kalbu kita, lalu menari riang disela tulang rusuk, menghadirkan seribu bahagia.

Alunan nada musik adalah bunyi petikan pada dawai, yang masuk ke pendengaran kita membawa gelombang lembut. Kadang ia mampu memaksa tetesan airmata menyeruak dari kelopak, kerana merasa gerah bagai tersulut oleh api kerinduan, tak tahan pada desakan gelisah cinta saat berpisah dengan kekasih, kerana himpitan kepedihan cinta yang luka tergores cakar cakar penantian.

Namun ia juga mempu menghadirkan simpul senyuman yang keluar perlahan dari gerakan lembut sepasang bibir indah, sebagai isyarat rasa senang bahagia. Alunan nada musik adalah nafas terakhir akalnya hati dan nafasnya jiwa.

Dipetik dari buku “Musik Dahaga Jiwa”
Oleh Khalil Gibran